Wednesday, February 02, 2011

A D I L

A D I L
" Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) kerana Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adilah,karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan ". - (Al Maidah: 8)

Bergambar di Sini

Setelah jatuhnya negeri Saamarkand kepangkuan Islam melalui Panglima Qutaibah bin Muslim, para rahib Saamarkand yang tak senang, melalui seorang utusan, mengadu kepada Amirul Mu'minin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasannya, Panglima perang tanpa memberikan pilihan dan da'wah telah menyerang dan menaklukkan mereka. Utusan diterima khalifah, dan ditulislah surat kepada Gubernur Saamarkand agar mengadakan pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu.

Para rahib Saamarkand manakala mengetahui isi surat khalifah langsung pucat pasi, fajar harapan pupus. Mereka mengira Raja yang adil itu telah memutuskan segalanya dan membela mereka.
Ternyata yang ada hanyalah sebuah pengadilan. Adakah arti sebuah pengadilan, sebagai institusi keadilan, kalau rodanya dijalankan pihak kuat dan pihak terdakwa menjadi hakim. Masih adakah keadilan, adakah harapan menang ?

Akhirnya hari pengadilan pun datang. Semua pihak telah siap. Duduk bersila, di tengah, qadli Jami bin Hadlir al Baji, yang dipilih oleh gubernur. Kecut hati para rahib memandang qadli kurus, bermuka pucat dan bersorban lusuh, tak ada harapan menang melihat qadli yang nampaknya lemah juga pilihan gubernur, pilihan terdakwa. Gubernur dan ketua rahib dipanggil namanya tanpa embel- embel oleh pembantu qadli untuk menghadap.

"Apa yang anda adukan ?", tanya qadli pada ketua rahib, dengan suara tegas. "Sesungguhnya Panglima Qutaibah telah mencaplok negeri kami, dia merebutnya tanpa memberikan pilihan atau da'wah terlebih dahulu pada kami".

Qadli menoleh pada gubernur seraya bertanya, "Bagaimana tanggapan anda ? Apakah terlebih dahulu anda tawar- kan 3 pilihan; masuk islam, bayar jizyah, atau perang ?". "Tidak", jawab gubernur. "Kalau begitu anda telah mengaku",kata qadli.

"Sesungguhnya Allah hanyalah memberikan kemenangan kepada ummat ini jika mereka mengikuti Allah dan RasulNya dan menjauhi penghianatan terhadap siapapun. Demi Allah kita keluar dari rumah masing-masing hanyalah untuk satu tujuan: jihad fi sabilillah. Kita tidak keluar untuk menguasai dunia dengan cara yang bathil.

Maka aku putuskan: kaum Muslimin harus meninggalkan negeri ini, setelah itu baru kaum Muslimin menga jak mereka kepada islam, kalau menolak mereka harus membayar jizyah dan keamanan mereka dijamin, kalau masih tetap menolak maka maklumatkanlah perang".

Para rahib Saamarkand setengah percaya, seperti mimpi mendengar keputusan qadli kurus yang berwibawa. Mereka melongo, terkesima manakala bunyi terompet pasukan kaum Muslimin segera akan meninggalkan negeri mereka. Mereka membayangkan dunia mereka yang sempit, papa, penuh kelicikan, dan kecurangan, sedang dunia islam luas, subur, semarak, indah dengan keadilan, kemuliaan dan ketaatan pada hukum Allah. Apa yang bisa dibanggakan dari dunia mereka yang gelap dan mencekam ? Keraguan menusuk sangat dada para rahib Saamarkand.

"Bagaimana pendapat kalian kalau pasukan kaum Muslimin kembali lagi ?", tanya ketua rahib pada penduduk. Tanpa menunggu pertanyaan diulang serentak mereka menjawab, "Kami akan masuk islam yang agung dan penuh keadilan". Mereka mencegah kepergian pasukan kaum Muslimin dan berharap kaum Muslimin membantu mere- kan untuk membangun negeri Saamarkand dan meneranginya dengan cahaya Islam. Sungguh keadilan Islam telah menyinari hati mereka.

Inilah dien, yang lurus, ditegakkan dengan nilai "langit" yang luhur, dan tegak untuk nilai itu. Kemenangan, kekuasaan bukanlah tujuan. Sabilillah adalah jalan untuk menegakkan nilai bukan un- tuk menegakkan pengaruh dan kekuasaan. Maka melanggar keadilan, melanggar aturan Allah dan RasulNya untuk menegakkan islam samalah artinya dengan membangun masjid dari uang judi; tak dipandang manusia apalagi oleh Allah Yang Maha Mengetahui setiap amaliah manusia.

Keadilan. Inilah ciri akhlaq islami yang menerangi hati dan meyelamatkannya dari kesempitan dan ketakutan. Yang mesti diberlakukan meski kepada kaum yang kita benci. Berlaku adil bukanlah karena ia ditujukan untuk orang yang kita suka, untuk sesama Muslim, tetapi karena ia sebuah nilai hidup yang mesti di kejawantahkan baik terhadap kawan atau lawan. Suatu nilai islami yang Allah turunkan sebagai pedoman hidup kaum Muslimin. Justru cahaya adil memancar terang manakala orang yang kita benci seka- lipun menerima keadilan dari kita. Inilah islam, dien Allah yang mengagumkan.